Download gratis novel sang pemimpi




















Untuk mendownload pdf Novel yang berjudul "Sang Pemimpi" karya Andrea Hirata, silahkan klik tombol di bawah ini. Anda juga bisa membaca secara online ebook Sang Pemimpi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Jika ingin membaca secara online, silahkan klik tombol di bawah ini. Terima kasih telah membaca Sang Pemimpi. Untuk ebook, buku, novel, komik dan karya menarik lainnya, silahkan kunjungi di sini.

Wajahnya sembap, namun Arai serta-merta menghiburnya. Abang ingin lagu 'Juwita Ma- lam'. Merinding aku mendengar jeritan panjang biola yang meliuk-liuk pilu, jauh, dalam, dan tegar. Nur- mi membawakannya dengan sepenuh jiwa seakan Arai adalah pahlawan keluarganya yang baru turun dari bu- lan.

Juwita malum, siapakah gerangan puan Juwita malam, dari bulankah puan Ketika itu kami masih kelas empat sekolah dasar. A Put namanya, terpesona aku dibuatnya. Waktu itu aku menganggapnya manusia paling hebat ketiga di dunia ini setelah ayahku dan se- orang laki-laki berjanggut lebat, senang memakai jubah, bermata syahdu meradang yang tinggal di Jakarta dan menciptakan lagu merdu berjudul "Begadang".

Kami merasa beruntung sempat menyaksikan kepiawaian A Put sebab ketika ia wafat ilmunya terkubur bersama diri- nya. Tak ada yang mewarisinya. Anak cucunya malah malu membicarakan ilmu unik A Put yang mungkin ha- nya dikuasainya sendiri sejagat raya ini.

Sang Pemimpi Siang itu A Put duduk santai mengisap cangklong. Sarung bawahannya, kaus kutang bajunya, sandal jepit alas kakinya, tujuh p u l u h tahun usianya. Pasiennya nongkrong meringis-ringis persis anak-anak kucing ter- cebur ke kolam kangkung. A Put adalah dokter gigi kam- pung kami, dukun gigi lebih tepatnya. Mengaku menda- pat ilmunya dari peri tempayan, laki-laki Hokian itu sungguh sakti mandraguna. Namanya kondang sampai ke Tanjong Pandan.

Bagaimana tidak, ia mampu me- nyembuhkan sakit gigi tanpa menyentuh gigi busuk itu. Bahkan tanpa melihatnya. Alat diagnosisnya hanya se- potong balok, sebilah palu, dan sebatang paku. Ruang praktiknya adalah lingkar teduh daun pohon nangka dan ia hanya berpraktik berdasarkan suasana hati. Gigi- giginya sendiri tonggos hitam-hitam. Ini katamu! Aya, ya Yang betul! Di sini? Ia menggerus-gerus permukaan balok dengan ujung paku, mencari-cari satu titik posisi gigi yang sakit.

Maka balok itu adalah representasi gusi orang. Hebat luar biasa. Sang pasien merasa seakan sebuah benda ber- gerak-gerak dalam mulutnya, meraba setiap giginya. Ini adalah komunikasi telepatik antara sepotong balok, se- batang paku, seorang dukun nyentrik, dan sebuah tekak busuk.

Di si- tu!! Sim salabim! Tak tahu ka- rena campur tangan jin, ilmu hitam, berkah sajen pada raja setan, atau sugesti, rasa sakit pada gigi itu dijamin lenyap saat itu juga, menguap seperti dompet keting- galan di stasiun, aneh binti ajaib!! Tak ada sebiji pun obat, bahkan tak perlu membuka mulut! Suatu ketika antrean pasien A Put telah melam- paui pagar kandang babinya.

Para tetua Melayu kasak- kusuk dan pagi-pagi sekali esoknya mereka mengantar senampan pulut panggang. Pimpinlah kampung ini, semoga sejahtera, Kawan Demikianlah prosesi di kampung kami, sangat fungsional.

Jika hujan berkepanjangan, pawang hujan akan mendapat kiriman pulut panggang. Jika buaya mulai nakal, maka dukun buaya dinobatkan jadi kepala kampung. Jika anak-anak Melayu banyak lahir, sang paraji, penguasa tali pusar itu, dipastikan jadi ketua adat. Kepemimpinan berdasarkan perintah alam itu berakhir sampai orang-orang Pasai membawa Islam ke suku-suku Melayu pedalaman. Para dukun dan pawang bangkrut pamornya digantikan oleh penggawa masjid.

Belakangan kami dikenalkan pada model demokrasi aneh yang mungkin di dunia hanya ada di republik ini. Petinggi di Jakarta menyebutnya Demokrasi Terpimpin!

Mengada-ada tentu saja. Sejak itu kampung-kampung orang Melayu diserbu manusia-manusia kiriman dari Palembang. Mereka tak kami kenal, rata-rata bergelar B. Mereka menjadi camat, bupati, sampai ketua KUA.

Tapi itu pun tak lama. Segera setelah mahasiswa meng- obrak-abrik kejahiliahan penyelenggaraan negara, kami dipimpin oleh bumiputra yang dalam pemilihan diwa- kili gambar jagung, pisang, dan kacang kedelai. Para ma- hasiswa yang hebat itu telah menebarkan kenikmatan demokrasi sampai jauh ke pulau-pulau terpencil. Saat ini Kacang Kedelai memimpin kampung ka- mi. Para penggawa masjid sangat disegani. Namun, dalam praktik me- reka adalah robot-robot budi pekerti yang menganggap besi panas merupakan alat yang setimpal untuk melu- ruskan tabiat anak-anak Melayu yang telah terkorupsi akhlaknya.

Mereka keras seperti tembaga. Setelah pu- lang sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran. Menga- ji dan mengaji Al-Qur'an sampai khatam berkali-kali. Dan jika sampai tamat SD belum hafal Juz Amma, siap- siap saja dimasukkan ke dalam beduk dan beduknya dipukul keras-keras sehingga ketika keluar berjalan zig- zag seperti ayam keracunan kepiting batu.

Mereka lebih kejam dari orangtua kami sebab me- rekalah yang mengajari orangtua kami mengaji. Bahkan Pak Ketua Kacang Kedelai tak berkutik pada trias poli- tika karena yang menyunat bapaknya, dengan kulit bambu, adalah Taikong Hamim. Dalam budaya orang Melayu pedalaman, siapa yang mengajarimu mengaji dan menyunat perkakasmu adalah pemilik kebijakan hidupmu. Aku dan Arai sering dihukum Taikong Hamim.

Ka- rena napasku tak panjang kalau mengaji pada suatu subuh yang dingin, aku disuruh menimba air dan meng- isi tong sampai penuh, lalu aku dipaksa menyelam ke dalam tong itu membawa jeriken lima liter.

Aku megap-megap dengan bibir membiru dan mata mau meloncat. Arai lebih parah. Karena terlambat salat subuh, ia disuruh berlari mengelilingi masjid sambil memikul gulungan kasur. Kami terpingkal-pingkal meli- hatnya berlari seperti orang kebakaran rumah.

Dalam kancah kawah candradimuka masjid, di bawah pemerintahan trias politika itulah, kami mengenal Jim- bron. Jimbron tak lancar berbicara. Jika ia panik atau sedang bersemangat ma- ka ia gagap. Jika suasana hatinya sedang nyaman, ia ber- bicara senormal orang biasa. Jimbron bertubuh tambun. Secara umum ia seperti bonsai kamboja Jepang: bahu landai, lebar, dan lungsur, gemuk berkumpul di daerah tengah. Wajahnya seperti bayi, bayi yang murung, seper- ti bayi yang ingin menangis—jika melihatnya langsung timbul perasaan ingin melindunginya.

Jimbron adalah seseorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya, beliau adalah seorang pastor ka- rena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovanny.

Rupanya setelah sebatang kara se- perti Arai, ia menjadi anak asuh sang pendeta. Beliau malah tak per- nah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid. Nasib Jimbron tak kalah menggiriskan dengan Arai. Dan gagapnya itu berhubungan dengan sebuah cerita yang memilukan. Dulu bicaranya normal seperti anak-anak lainnya. Jimbron adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Ibunya wafat ketika Jimbron kelas empat SD. Jimbron sangat dekat dan sangat tergantung pada ayahnya. Ayahnya adalah orientasi hidupnya.

Suatu hari, belum empat puluh hari ibunya wafat, Jimbron bepergian naik sepeda dibonceng ayahnya, masih berkendara ayahnya terkena serangan jantung. Konon Jimbron pontang-pan- ting dengan sepeda itu membawa ayahnya ke Puskes- mas. Sampai di Puskesmas Jimbron, anak kelas empat SD itu, kehabisan napas dan pucat pasi ketakutan.

Lagi pula sudah terlambat. Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu Jimbron gagap. Pendeta Geovanny, sahabat keluarga itu, lalu mengasuh Jimbron. Kedua adik kembar perem- puannya mengikuti bibinya ke Pangkal Pinang, Pulau Bangka. Kata orang-orang, ini berhubung- an dengan sebuah film di televisi balai desa yang diton- ton Jimbron seminggu sebelum ayahnya wafat.

Dalam film koboi itu tampak seseorang membawa orang sakit untuk diobati dengan mengendarai kuda secepat angin sehingga orang itu dapat diselamatkan. Barangkali Jim- bron menganggap nyawa ayahnya dapat tertolong jika ia membawa ayahnya ke Puskesmas dengan mengen- darai kuda. Di kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi Jimbron mengenal kuda seperti ia pernah melihatnya langsung.

Jimbron adalah pemuda yang mudah me- ngantuk tapi jika sedikit saja ia mendengar tentang kuda, maka telinga layunya sontak berdiri. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik.

Ia tahu teknik me- ngendarai kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna ringkikan kuda. Dengan melihat gambar wajah kuda, ia langsung tahu jenis kelamirmya. Tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron selain kuda. Jika kami menonton film Zorro di TV balai desa, maka jangan tanyakan pada Jimbron jalan ceritanya.

Ia tak tahu. Jimbron ter- obsesi pada kuda, penyakit gila nomor Kudddaa aadd Semakin ia excited, semakin parah gagapnya. Aku prihatin melihat mukanya. Sebuah wajah yang me- nimbulkan perasaan ingin selalu melindunginya. Polos, bersih seperti bayi. Kuduga Jimbron tak 'kan pernah tampak tua walaupun nanti usianya tujuh puluh tahun. Ia sumringah. Tak perlu lagi meyakinkan aku mes- kipun sesungguhnya aku sudah sangat bosan.

Jika ber- jumpa dengannya, tak ada cerita selain kuda, dari pagi sampai sore. Begitu kan maksudmu, Bron? Ia menatapku sarat arti: aku sayang padamu, Sahabatku.

Sung- guh penuh pengertian! Jim- bron disuruh maju ke tengah madrasah, dipertontonkan pada ratusan santri dan dipaksa meringkik. Matanya yang lugu, tubuhnya yang gemuk dan bahunya yang lungsur tampak lucu ketika tangannya menekuk di dada- nya seperti bajing. Dan kami dilanda keheranan ketiga: Jimbron senang bukan main dengan hukuman itu. Meskipun Jimbron gembira dengan hukuman apa pun yang berhubungan dengan kuda, bagi kami Taikong Hamim tetap antagonis.

Beliau selalu menerjemahkan aturan Haji Satar secara kaku tanpa perasaan. Maka de- ngan segala cara, kami berusaha membalas Taikong. Otak pembalasan ini tentu saja Arai.

Cara yang paling aman, sehingga paling sering dipraktikkan Arai adalah mengucapkan amin dengan sangat tidak tuma'ninah. Ca- ra ini sebenarnya sangat keterlaluan, tapi maklum waktu itu kami masih SD dan Arai memang memiliki bakat terpendam di bidang nakal. Setiap Taikong Hamim menjadi imam salat jamaah dan tiba pada bacaan akhir Al-Fatihah: "Whalad dholiiiiiin Suaranya yang nya- ring dan parau berkumandang dengan lucu membuyar- kan kekhusyukan umat.

Kami tak bisa menahan ceki- kikan sampai perut kaku. Kejahatan ini aman menurut Arai sebab Taikong tak bisa menentukan siapa pelaku- nya di antara ratusan anak-anak di saf belakang. Dan kami selalu kompak melindungi Arai. Menurut kami, cara ini adalah pembalasan setimpal untuk Taikong. Namun lihat saja, kejahatan ini, belasan tahun kemudian akan diganjar Tuhan dengan tunai melalui cara yang secuil pun tak terpikirkan oleh Arai.

Taikong Hamim memang tak tahu tapi Tuhan mencatat dan Tuhan akan membalas. Seperti kata Anton Chekov: Tuhan tahu, tapi menunggu. Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam kolaps. Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan ge- lombang besar anak-anak yang terpaksa berhenti seko- lah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk mem- bantu orangtua.

Anak-anak yang kuat tenaganya menjadi pendu- lang timah. Mereka yang kuat nyalinya bekerja di bagian tengah laut. Pekerjaan berbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga. Mereka yang kuat tenaga dan kuat nyalinya siang malam men- cedok pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan se- perti jembel dan tidur di bawah gardan truk, melingkar seperti biawak.

Anak-anak Melayu ini paling miris na- sibnya. Karena sesungguhnya setiap butir pasir itu ada- lah milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan galena itu adalah harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tong- kang untuk menggendutkan perut para cukong di Jakar- ta atau pejabat yang kongkalikong.

Menjadi pendulang, nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan se- lamat tinggal pada Tut Wuri Handayani. Mereka yang masih bersemangat sekolah umum- nya bekerja di warung mi rebus. Mencuci piring dan setiap malam pulang kerja harus menggerus tangan tujuh kali dengan tanah karena terkena minyak babi. Atau menjadi buruh pabrik kepiting. Berdiri sepanjang malam menyiangi kepiting untuk dipaketkan ke Jakarta dengan risiko dijepiti hewan nakal itu.

Atau, seperti aku, Arai, dan Jimbron, menjadi kuli ngambat. Tentu susah dipahami kalau kampung kami yang miskin sempat punya beberapa padang golf bahkan sampai 24 hole. Dan tentu aneh di padang golf ada pekerjaan me- nyelam. Orang-orang kaya baru dari PN Timah yang tak berbakat dan datang hanya untuk menegaskan sta- tusnya tak pernah mampu melewatkan bola golf melam- paui sebuah danau bekas galian kapal keruk di tengah padang golf itu. Penjaga padang golf akan membayar untuk setiap bola golf yang dapat diambil pada keda- laman hampir tujuh meter di dasar danau.

Bola golf di dasar danau dengan mudah dapat ditemukan karena indah berkilauan, persoalannya, danau itu adalah tem- pat buaya-buaya sebesar tong berumah tangga. Lalu ka- mi beralih menjadi part time office boy di kompleks kantor pemerintah. Mantap sekali judul jabatan kami itu dan hebat sekali job description-nya: masuk kerja subuh-su- buh dan menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi untuk para abdi negara.

Persoalannya, lebih sadis dari ancam- an reptil cretaceous itu, yaitu berbulan-bulan tak digaji. Sekarang kami bahagia sebagai kuli ngambat. Karena pe- kerjaan ini kami menyewa sebuah los sempit di dermaga dan pulang ke rumah orangtua setiap dua minggu. Ngambat berasal dari kata menghambat, yaitu me- nunggu perahu nelayan yang tambat. Lalu yang mereka tindas habis-habisan untuk melakukan pekerjaan sangat kasar berbau busuk itu disebut kuli ngambat.

Selain anak- anak yang tekad ingin sekolahnya sekeras tembaga, pe- mangku jabatan kuli ngambat umumnya adalah mereka yang patah harapan. Tak diterima kerja di mana-mana, karena saking tololnya sampai tak tahu nama presiden republik ini, atau karena saking jelek konditenya bahkan perkumpulan calo karcis—yang juga merupakan gerom- bolan bromocorah—tak mau mengajak mereka. Setiap pukul dua pagi, berbekal sebatang bambu, kami sempoyongan memikul berbagai jenis makhluk la- ut yang sudah harus tersaji di meja pualam stanplat pada pukul lima, sehingga pukul enam sudah bisa diserbu ibu-ibu.

Artinya, setelah itu kami leluasa untuk sekolah. Setiap pagi kami selalu seperti semut kebakaran. Men- jelang pukul tujuh, dengan membersihkan diri seada- nya—karena itu kami selalu berbau seperti ikan pari— kami tergopoh-gopoh ke sekolah. Jimbron menyambar sepedanya, yang telah dipasanginya surai sehingga baginya sepeda jengki reyot itu adalah kuda terbang pe- gasus.

Aku dan Arai berlari sprint menuju sekolah. Julian Ichsan Balia. Sebagai anak-anak yang sejak sekolah dasar diajar- kan untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, aku, Arai, dan Jimbron sungguh terpesona pada Pak Balia.

Berpostur sedang, berkulit bersih, cm kurang lebih, Pak Balia selalu tampil prima karena ia mencintai profesinya, menyenangi ilmu, dan lebih dari itu, amat menghargai murid-muridnya. Setiap representasi dirinya ia perhitungkan dengan teliti sebab ia juga paham di de- pan kelas ia adalah center of universe dan karena yang di- ajarkannya adalah sastra, muara segala keindahan.

Wa- jahnya elegan penuh makna seperri sampul buku ensi- klopedia. Tulang pipi yang lonjong membuatnya tampak sehat dan muda ketika timbangannya naik dan membuat- nya berkarakter menawan waktu ia kurus. Warna cokelat adalah sandang kesenangannya sebab seirama dengan warna bola matanya. Ilmu yang terasah oleh usia yang senantiasa bertambah, menjadikan dua bola kecil cokelat yang teduh itu bak perigi yang memeram ketinggian ilmu dalam kebijaksanaan umur.

Merupakan daya tarik utama kelasnya. Ketika membicarakan syair-syair tentang laut, beliau memboyong kami ke kampung nelayan.

Mengajari kami menggubah deburan ombak menjadi prosa, membim- bing kami merangkai bait puisi dari setiap elemen kehi- dupan para penangkap ikan.

Indah menggetarkan. Jika kelelahan beliau mohon diri sebentar untuk membasuh mukanya, mengelapnya dengan han- duk putih kecil bersulamkan nama istri dan putri-putri- nya, yang selalu dibawanya ke mana-mana, lalu dibasahi- nya rambutnya dan disisirnya kembali rapi-rapi bergaya James Dean. Sejenak kemudian beliau menjelma lagi di depan kelas sebagai pangeran tampan ilmu pengetahuan.

Setiap peristiwa di jagat raya ini ada- lah potongan-potongan mozaik. Terserak di sana sini, tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang. Na- mun, perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok seperti montase Antoni Gaudi. Mozaik-mozaik itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu apa pun yang kaukerjakan dalam hidup ini, akan bergema dalam keabadian Sinarnya yang terang tapi lembut menghalau sisa-sisa siang.

Di lapangan sekolah kami duduk rapat- rapat merubungnya. Terpesona akan kata-katanya. Kami lena dibelai ujung-ujung putih perdu kapas yang berge- lombang ditiup sepoi angin bak buih lautan, lena disihir kalimah-kalimah sastrawi guru kami ini.

Menah- biskan mimpi-mimpi yang muskil bagi kami. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhe- bat tiada tara: Sorbonne. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban Dalam gambar itu tampak seorang pelukis sedang menghadapi sebidang kanvas. Ada sedikit coretan impresi. Dan nun di sana, di bela- kang kanvas itu, berdiri menjulang Menara Eiffel seolah menunduk memerintahkan Sungai Seine agar membe- lah diri menjadi dua tepat di kaki-kakinya.

Sungai itu pun patuh. Riak-riak kecilnya membiaskan cahaya seumpama jutaan bola-bola kaca yang dituangkan dari langit. Pada saat itulah aku, Arai, dan Jimbron mengkris- talisasikan harapan agung kami dalam satu statement yang sangat ambisius: cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Prancis! Ingin menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Harapan ini selanjutnya menghantui kami setiap hari. Begitu tinggi cita-cita kami. Tapi di depan tokoh karisma- tik seperti Pak Balia, semuanya seakan mungkin.

Pak Balia mengakhiri session sore dengan menyen- tak semangat kami. Pe- kikkan padaku kata-kata yang menerangi gelap gulita rongga dadamu! Kata-kata yang memberimu inspirasi!! Panggilan itu senantiasa membuncahkan tenaga dalam pembuluh darah kami. Tangan-tangan muda Melayu serta-merta menu- ding langit, puluhan jumlahnya, berebutan ingin tampil.

Kata-katanya patah- patah menggelegar seperti prajurit TNI ditanya jatah oleh komandan kompi. Yang kita butuhkan adalah orang- orang yang m a m p u memimpikan sesuatu yang tak pernah diimpikan siapa pun! John R Kennedy, Presiden Amerika paling masyhur! Hebat sekali! Oke, Mahader!! Mahader tak sabar ingin me- ngabarkan pada dunia kata-kata yang membuatnya tabah bangun setiap pukul tiga subuh untuk menggoreng getas dan menjunjungnya keliling kampung.

Wajahnya sendu namun tegar selayaknya orang yang menanggung beban kesusahan menghidupi adik-adiknya. Kata-katanya ga- rau dan syahdu, penuh tekanan seperti deklamasi. Seluruh kesulitan dalam hidup ini Kami bersuit-suit men- dengar kata-kata yang berkilauan itu dan selanjutnya tak terbendung kata-kata negarawan, ilmuwan, dan pah- lawan membanjiri kelas Pak Balia yang memesona.

Kata-kata yang membakar semangat setiap orang hingga kini. Tiba-tiba, tanpa diminta Pak Balia, Arai melompat bangkit, melolong keras sekali, "Tak semua yang dapat dihitung, diperhitungkan, dan tak semua yang diperhi- tungkan, dapat dihitung!!

Albert Einstein! Fisikawan no- mor wahid! Matanya me- lirik-lirik Nurmala. Pak Balia terpana dan berkerut ke- ningnya, tapi memang sudah sifat alamiah beliau meng- hargai siswanya. Kembang SMA Bukan Main itu telah ditaksirnya habis- habisan sejak melihatnya pertama kali waktu pendaf- taran. Meskipun seumur-umur tak pernah punya pacar tapi Arai punya teori asmara yang sangat canggih. Dari tadi aku tak meng- acung karena aku tak punya kata-kata mutiara. Aku tak segera bangkit. Aku panik. Tak pernah Pak Balia harus meminta dua kali.

Aku gemetar karena tak siap. Tapi aku tetap harus berdi- ri. Tak mungkin mengkhianati euforia kelas ini. Dan pa- da detik menentukan, aku senang sekali, eureka!! Sebab aku teringat akan ucapan seniman besar favoritku. Akan kukutip salah satu syair lagunya. Aku berdiri tegak-te- gak, berteriak, "Masa muda, masa yang berapi-api!! Haji Rhoma Irama! Anak-anak Sungai Manggar itu, muara, dan barisan hutan bakau adalah pemandangan yang terbentang jika kami mem- buka jendela los kontrakan kami di dermaga.

Namun, tak seindah cerita romansa Sungai Seine, muara itu adalah muara air mata. Beberapa tahun lalu sebuah keluarga Melayu berkebun di pulau kecil tak ja- uh dari muara. Dalam perjalanan pulang, perahu mere- ka terbalik. Sang ayah, dengan kedua tangannya, memeluk, merengkuh, menggenggam selu- ruh anggota keluarganya. Istrinya dan ketiga anaknya semuanya berada dalam dekapannya. Ia ingin menye- lamatkan semuanya. Sebuah upaya yang sia-sia.

Tapi anak tertuanya, Laksmi, selamat. Gadis kecil itu tak sa- darkan diri, tersangkut di akar-akar bakau. Sejak itu se- menanjung tempat keluarga itu ditemukan dinamakan orang Semenanjung Ayah. Laksmi dipungut seorang Tionghoa Tongsan pe- milik pabrik cincau dan ia bekerja di situ. Tapi seperti Jimbron dengan Pendeta Geo, bapak asuh Laksmi justru menumbuhkan Laksmi menjadi muslimah yang taat.

Sa- yangnya sejak kematian keluarganya, kehidupan seolah terenggut dari Laksmi. Ia dirundung murung setiap hari. Jelas, meskipun sudah bertahun-tahun terjadi, kepedih- an tragedi di Semenanjung Ayah masih lekat dalam diri- nya. Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak pernah lagi—tak pernah walau hanya sekali—orang melihat Laksmi tersenyum. Senyumnya itu sangat dirindukan semua orang yang mengenalnya.

Karena senyumnya itu manis sebab wajahnya lonjong dan ada lesung pipit yang dalam di pipi kirinya. Laksmi selalu menampilkan kesan seakan tak ada lagi orang yang mencintainya di dunia ini, padahal, diam-diam, Jimbron setengah mati cinta padanya.

Jimbron bersimpati kepa- da Laksmi karena merasa nasib mereka sama-sama me- milukan. Mereka berdua, dalam usia demikian muda, mendadak sontak kehilangan orang-orang yang menjadi tumpuan kasih sayang. Kepedihan yang menghunjam dalam diri mereka menyebabkan Laksmi kehilangan se- nyumnya, dan Jimbron kehilangan suaranya. Mereka berdua mengandung kehampaan yang tak terkira-kira dalam hatinya masing-masing. Setiap Minggu pagi Jimbron menghambur ke pab- rik cincau.

Dengan senang hati, ia menjadi relawan pem- bantu Laksmi. Tanpa diminta ia mencuci kaleng-kaleng mentega Palmboom wadah cincau itu jika isinya telah ko- song dan ikut menjemur daun-daun cincau. Seperti bi- asa, Laksmi diam saja, dingin tanpa ekspresi. Di antara kaleng-kaleng Palmboom mereka berdua tampak lucu.

Jimbron yang gemuk gempal, sumringah, dan repot seka- li, hanya setinggi bahu Laksmi yang kurus jangkung, berwajah lembut, dan tak peduli. Sering Jimbron datang ke pabrik membawakan Laksmi buah kweni dan pita- pita rambut. Jimbron ingin sekali, bagaimanapun cara- nya, meringankan beban Laksmi meskipun hanya seka- dar mencuci baskom.

Bukan untuk merayu atau menyatakan cinta, bukan, sama sekali bu- kan, tapi untuk menghibur Laksmi. Dari kejauhan aku dan Arai sering terpingkal-pingkal melihat Jimbron ber- tingkah seperti kelinci berdiri. Tak diragukan, dia se- dang meringkik, sedang menceritakan kehebatan seekor kuda.

Laksmi semakin datar karena kuda sama sekali asing baginya, asing bagi semua orang Melayu. Kadang-kadang, dengan penuh semangat, Jim- bron memamerkan aksesori baru sepeda jengkinya pada Laksmi yaitu sadelnya yang ia buat seperti pelana kuda.

Kulit kambing didapatnya dari beduk apkir. Lengkap pula dengan kantong kecil untuk menyelipkan senapan meski kenyataannya diisinya botol air. Atau sepatunya yang ia pasangi ladam jadi seperti sepatu kuda, atau aksesori berupa tanduk sapi yang diikatkan pada setang sepedanya.

Laksmi hanya menggeleng-gelengkan kepa- lanya. Sering Jimbron menghampiri Pak Balia untuk me- minta cerita-cerita komedi. Jim- bron, aku, Arai, atau siapa pun, bagaimanapun kami te- lah mencoba, tak pernah sekali pun berhasil memancing senyum Laksmi. Laksmi telah lupa cara tersenyum. Jika mendengar kami mengisahkan fabel dan parodi, Laksmi memalingkan wajahnya, miris memandang langit, ga- mang melalui hari demi hari, perih memandang sulur- sulur anak Sungai Manggar di Semenanjung Ayahnya.

Bertahun-tahun sudah Jimbron berusaha menarik Laksmi dari jebakan perangkap kesedihan. Tapi Laksmi seperti orang yang sudah terjebak jiwanya. Kami mulai cemas, sekian lama dalam kungkungan duka yang guli- ta, jangan-jangan Laskmi mulai tergantung pada pera- saan yang mengharu biru itu, bahkan mulai menyukai- nya.

Seperti veteran Perang Vietnam yang kecanduan pada rasa takut. Menurut kami, sudah saatnya Laksmi ditangani orang yang ahli. Setiap kami singgung ke- mungkinan itu pada Jimbron, dengan tujuan agar ia ti- dak kecewa, agar tak terlalu memendam harap, ia ter- puruk, terpuruk dalam sekali.

Collection's Di televisi balai desa kami menyimak ulasan Ibu Toeti Adhi- tama tentang sepak terjang seorang patriot muda Muja- hiddin yang baru saja menumbangkan komandan resimen utara Tentara Merah Rusia. Zahid adalah imam karismatik yang terpandang di bagian lain Afghanistan, Baloch. Ke- luarga ini turun-temurun memimpin gerilyawan Baloch sejak Afghanistan melawan pendudukan Inggris dan sam- pai saat terbunuhnya komandan Rusia itu, sudah hampir sepuluh tahun mereka menggempur invasi Rusia.

Oruzgan yang se- usia dengan aku, Arai, dan Jimbron—baru 17 tahun— ternyata pemimpin pasukan elite Mujahiddin. Oruzgan telah menapaki jejak kepahlawanan keluarganya sejak belia. Terbunuhnya komandan resimen utara Tentara Merah menjadi tonggak penting direbutnya kembali zo- na utara dari penaklukan Tentara Merah, sekaligus pe- micu hengkangnya Rusia dari Afghanistan tahun beri- kutnya.

Oruzgan disambut bak pahlawan. Dalam waktu singkat, ia menjadi imam besar Baloch. Sayangnya, karena friksi dengan Taliban, Oruzgan dan pengikutnya harus hengkang dari Afghanistan. Mereka mendapat suaka di sebuah negara asing. Ketika menonton berita itu tak tebersit olehku dan Arai bahwa pertempuran di Towraghondi itu, yang ter- jadi pada waktu yang sama ketika kami dikejar Pak Mus- tar sampai ke gudang peti es: 15 Agusrus , akan men- jadi potongan mozaik hidup kami.

Kami juga tak sadar bahwa hari itu langit telah mengisap teriakan ikan duyung sang Capo seperti langit mengisap teriakan Arai yang melantunkan amin secara kurang ajar untuk membalas Taikong Hamim.

Ibuku paling tidak bisa menuliskan namanya dengan huruf Latin. Ayahku, hanya bisa menuliskan namanya dengan huruf Arab, huruf Arab gundul. Dan tanda tangannya pun seperti huruf shot. Tahu, 'kan? Sebelum tho dan zho itu. Dan ayahku adalah pria yang sangat pendiam. Jika berada di rumah dengan ibuku, rumah kami menjadi pentas monolog ibuku, berpenonton satu orang.

Namun, belasan tahun sudah jadi anaknya. Aku belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya memiliki rasa kasih sayang yang jauh berlebih dibanding pria sok ngatur yang mere- pet saja mulutnya. Sang Pemimpi Buktinya, jika tiba hari pembagian rapor, ayahku mengambil cuti dua hari dari menyekop xenotim di in- stalasi pencucian timah, wasrai. Hari pembagian raporku adalah hari besar bagi beliau. Tanpa banyak cincong, hari pertama beliau mengeluarkan sepatunya yang ber- merek Angkasa.

Dijemurnya sepatu kulit buaya yang ru- panya seperti tatakan kue sempret itu, dipolesnya lem- but dengan minyak rem dicampur tumbukan arang. La- lu ikat pinggangnya, dari plastik tapi meniru motif ular, juga mendapat sentuhan semir istimewa itu. Dijemurnya pula kaus kakinya, sepasang kaus kaki sepak bola yang tebal sampai ke lutut, berwarna hijau tua. Setelah itu, spesial sekali, beliau akan menuntun keluar sepeda Rally Robinson made in England-nya yang masih mengilap.

Sejak dibeli kakeknya tahun , tak habis hitungan jari tangan kaki sepeda itu pernah dike- luarkan. Diperiksanya dengan teliti ban dan rantainya, dicobanya dinamo dan kliningannya, dan tak lupa, sepe- da itu pun mendapat kehormatan dipoles ramuan semir merek beliau sendiri tadi. Dan yang terakhir, hanya, sekali lagi hanya, untuk acara yang sangat penting, beliau mengeluarkan busana terbaiknya: baju safari empat saku! Baju ini punya nilai historis bagi keluarga kami.

Bonus pengangkatan itu adalah kain putih kasar bergaris-garis hitam. Oleh ibuku kain itu dijadikan lima potong celana dan baju safari sehingga pada hari raya Idul Fitri tahun , ayahku, aku, adik laki-lakiku, dan kedua abangku memakai baju seragam: safari empat saku! Kami silaturahmi keliling kampung seperti rombongan petugas cacar.

Saat pembagian rapor, ibuku pun tak kalah repot. Sehari semalam beliau merendam daun pandan dan bu- nga kenanga untuk dipercikkan di baju safari empat sa- ku ayahku itu ketika menyetrikanya.

I will definitely recommend this book to novels, asian literature lovers. Your Rating:. Your Comment:. Laskar by Devi S. Great book, Sang Pemimpi pdf is enough to raise the goose bumps alone.



0コメント

  • 1000 / 1000